22



(Cover depan : https://bukurepublika.id/)

Novel ini menceritakan kehidupan anak-anak di kampung nelayan, kampung Manowa. Yup, nama kampung ini murni rekaan penulis dan menurut cerita co-author (penulis pendamping), Sarippudin, kakak Bang Tere Liye, karya ini terinspirasi dari kisah masa kecilnya yang dekat dengan kehidupan sungai. Bukan hanya di novel keenam Serial  Anak Nusantara ini saja Bang Tere menggunakan co-author, di novel sebelumnya yang berjudul “Si Anak Cahaya” dan juga novel “Pergi”, Bang Tere dan Bang Sarippudin sudah berkolaborasi.

Hubungan yang dekat antara penulis dan co-author juga memberi pengaruh tentang kesan pembaca. Saya tak merasakan perbedaan gaya bahasa yang signifikan jika faktanya karya yang beralur maju ini dibuat oleh dua penulis. Malah saya merasa novel ini secara utuh ditulis dan khas banget Bang Tere Liye. 

Beberapa kata yang sering muncul dan menjadi ciri khas Bang Tere seperti “Aye-aye”, seruan “Oi...”, “besok-besok”, “besok”, “lusa”, seperti pada kalimat “Besok, lusa aku percaya bahwa kau akan jadi saudagar kaya,” kata Zaenal pada Malim.  “Kalau besok lusa kau berjodoh dengan cucuku, jaga dia baik-baik,” (halaman 181). Kata “rumit” sering mendapat pengulangan dan sepertinya memang sengaja dilakukan penulis. Lihat saja pada kalimat “Akan rumit ceritanya kalau umat Nabi Nuh diperintahkan untuk membuat pesawat terbang,” (halaman 56). “Kalau dibuat banyak akan rumit ceritanya, Pak Guru,” (halaman 57, bab 5).

Sorotan konflik mulai terlihat seperti realitas yang dinarasikan lewat cerita. Proyek pembangunan pelabuhan yang ditentang warga kampung Manowa, terutama Pak Kapten, tetua kampung yang vokal menyerukan ketidaksetujuan. Ketidakjujuran data kajian pembangunan pelabuhan seperti data struktur tanah seolah menjadi kritik penulis terhadap pembangunan dan pemerintahan. Ya, pihak yang berwenang akan melakukan apapun demi terlaksananya proyek pembangunan guna mewujudkan misi mereka meski dengan hal yang tidak terpuji seperti korupsi.

Dalam kisah ini, diceritakan bahwa pemerintah pusat merasa terusik dengan adanya Pak Kapten yang dianggap menghalangi jalannya pembangunan pelabuhan. Pak Kapten yang bernama asli Sakai bin Manaf kemudian ditangkap dengan sebuah tuduhan meledakkan kapal. Geng Si Anak Badai pun terpanggil dan berusaha mengumpulkan bukti untuk menggagalkan pembangunan pelabuhan yang ternyata tak layak. Lalu bagaimana mereka menyusun siasat guna membantu menggagalkan proyek pembangunan pelabuhan?

Tak hanya ketegangan yang melingkupi kisah novel ini. Kehangatan yang menyeruak pun diceritakan dengan apik melalui kasih sayang Mamak yang terlukiskan dari perannya. Mamak sempat sedih sebab luput memerhatikan anak-anaknya. Betapapun sibuknya seorang Ibu, jika ia merasa tak maksimal dalam menjalankan peran dalam keluarga, ia pun merasa bersalah. “Nanti, kalau jahitan ini selesai, Thiyah, Fatah, dan Zaenal akan aku bawa ke pasar terapung, Bang. Aku akan bebaskan mereka beli makanan apa saja. Biar mereka tahu aku sungguh sayang pada mereka bertiga,” (halaman 133). Kemudian suaminya  merespons, “Ada cara yang tidak menunggu nanti-nanti, Fatma. Datangilah mereka sekarang juga. Cium satu per satu. Itu akan menjadi embun di hati kau, juga di hati mereka,” (halaman 134). Penghargaan dan pengorbanan seorang ibu untuk merawat setiap anggota keluarga sangat diapresiasi dan terlihat jelas dalam novel ini.

O ya, ada seorang tokoh terkenal yang disebut pada bab ketiga (halaman 38) dalam cerita ini. Meski tokoh ini tidak banyak diceritakan secara gamblang namun berhasil membuat saya menebak-nebak apa sebenarnya latar belakang penulis memunculkan tokoh tersebut. Sebagai narator, Za (Zaenal) menyematkan clue jika tokoh ini sangat penting di akhir cerita kisah ini. Hmm, semakin dibuat penasaran saja ya?

Saat melahap dan menikmati buku ini, saya mendadak jadi kangen keluarga. Ketegasan sikap Mamak saat merawat anak-anaknya dan kebijaksanaan Bapak saat menyikapi suatu masalah, menghadapi setiap karakter anaknya, pun dalam mendidik keluarganya mengingatkan saya akan Bapak dan Ibu. Kesederhanaan, kasih sayang, tanggung jawab, jelas tergambar dari keluarga Zaenal. Dari keseharian keluarga Zaenal, saya belajar bagaimana rasa syukur mampu tercipta meski keadaan tak selalu membuat hati bahagia.  

Ketika Zaenal, Ode, Awang dengan gigihnya membujuk Malim untuk kembali bersekolah. Aksi tersebut dipelopori oleh Za bahkan sampai kesebelas kalinya,“Seorang kawan tidak akan meninggalkan kawannya sendirian,” (halaman 202). Dalam kejadian ini, penulis menorehkan pemahaman yang baik bahwa sekolah tidak hanya tentang ijazah, seorang yang bercita-cita jadi saudagar atau apapun tetap butuh sekolah. Sekolah itu penting.

Pengorbanan dan kesetiakawanan ditunjukkan ketiga anak kelas 6 SD tersebut. Sudah menjadi hal lazim bahwa di kampung Manowa banyak anak yang putus sekolah dikarenakan kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Lain halnya dengan Malim, ia berhenti sekolah karena keinginannya sendiri. Anehnya orang tua Malim, Paman Rota, seakan membiarkan hal tersebut terjadi, tidak masalah dengan keputusan anaknya bahkan tak ingin memaksa anaknya sekolah dengan berprinsip, “Anak itu, kalau dipaksa, bisa nekat berontak lantas kabur dari rumah,” (halaman 196). Penulis seakan ingin menukil ciri khas kampung nelayan yang notabene masih minim kesadaran tentang pendidikan.

Olok-olokan yang disematkan Mamak pada Za saat persiapan memancing cakalang, “Kau bukan anak nelayan, Zaenal. Bapak kau pegawai kantor kecamatan. Turuti kata Mamak, kau tidak terbiasa berada di tengah lautan seperti teman-teman kau. Angin yang berembus di sana jauh berbeda dengan angin yang berembus di kampung kita,” (halaman 227). Dalam petualangan memancing ikan cakalang, Za berhasil menampilkan aksi sekaligus membuktikan bahwa sebagai anak pegawai kecamatan, ia juga bisa dan gigih mendapatkan ikan cakalang. “Aku harus berhitung cepat. Aku memang bukan anak nelayan, aku hanya anak pegawai kecamatan. Tetapi pelaut tidak ada urusannya dengan siapa orang tua kita. Pelaut sejati mengandalkan pengalaman dan kecakapan," (halaman 246). Hmm, ternyata ada teknik mencari ikan cakalang yang tertera pada halaman 235. Saya seakan disuguhi petualangan seru dengan narasi yang informatif saat menyimak dan merasakan keseruan sekaligus suka duka empat sekawan ketika ikut misi memancing cakalang Paman Deham di laut. Lebih-lebih, keasyikan cerita tersebut sampai dikisahkan dalam dua bab (bab 20 dan 21). 

Dibalik hal-hal menarik dari novel ini, ada ketidaktepatan ejaan pada dua kata “melalinkan” pada halaman 229 yang seharusnya tercetak “melainkan”. Yang kedua, kurangnya spasi untuk kata “TapiPakKapten”  dalam kalimat “Aku tidak percaya. TapiPakKapten sengaja disingkirkan dari kampung kita agar tidak ada lagi yang menghalangi pembangunan pelabuhan. Tidak lama lagi pelabuhan akan dibangun. Rumah-rumah akan dirobohkan,” (halaman 230).  

Barangkali kita pernah mendengar sindiran yang berbau meremehkan seperti “Ah, mereka hanya anak kecil. Bisa apa sih?” seakan terpatahkan dengan aksi dan ide brilian empat sekawan yang dipimpin Zaenal dalam menggagalkan pembangunan pelabuhan dan membuktikan bahwa utusan gubernur, Pak Alex,  serta Camat Tiong bersekongkol dalam misi memperkaya diri lewat proyek yang sebenarnya tidak layak secara kajian ini. Bang Tere seperti ingin menyelipkan muatan politis dan kritik untuk pemerintah tentang proyek pembangunan yang terlaksana di daerah-daerah yang barangkali menuai pro-kontra.

Mengingat sebuah persahabatan dan masa-masa sekolah dasar, saya kemudian refleks melihat ke belakang kala saya duduk di bangku kelas 6 SD, seperti empat anak yang menamakan geng mereka Si Anak Badai (Za, Ode, Awang dan Malim). Saat itu, saya dan ketiga teman lainnya juga sempat membentuk geng, saya lupa nama geng kami saat itu. Sependek ingatan saya, kami berempat mempunyai nama panggilan baru yang hanya kami berempat yang tahu. Ada-ada saja ya tingkah anak SD saat itu. Hehe.

Unsur budaya pun tak luput dari perhatian penulis. Dengan memasukkan gambaran seperti ibu-ibu yang bermain rebana, para warga yang mempunyai kebiasaan berbalas pantun, anak-anak pantai yang menunggu kapal lewat di sungai pada hari Minggu atau hari libur sekolah untuk mencari uang koin yang dilempar penumpang kapal, barangkali penulis ingin menjabarkan setting cerita secara implisit, selain tentunya mengangkat kearifan lokal yang khas dari sebuah kampung nelayan. Dilihat dari kebiasaan ibu-ibu bermain rebana, kisah ini kemungkinan mengambil setting tahun 1990-an.

Tak perlu diragukan bahwa karya Bang Tere Liye selalu menyajikan paket komplit nilai-nilai moral, yang membuat novel-novelnya termasuk novel kategori serial ini, Si Anak Badai, bisa dinikmati oleh semua umur. Ya, bisa dibilang karya Bang Tere Liye ini masuk dalam kategori buku yang disukai dan patut direkomendasikan. O ya, sudahkah kamu membaca novel ini?


  • Judul: Si Anak Badai
  • Penulis: Tere Liye
  • Co-author : Sarippudin
  • Editor : Ahmad Rivai
  • Penerbit: Republika
  • Cetakan: Pertama, Agustus 2019
  • Tebal: 322 halaman 
  • No.ISBN: 978-602-5734-93-9 
  • Harga: Rp70.000,00




(Cover belakang : https://bukurepublika.id/) 


Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post

Post a Comment

  1. Peresensi sangat piawai menceritakan kelebihan isi buku yang membuat saya tertarik membaca versi lengkapnya. Terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Kak. Silakan dipinang novelnya.

      Delete
  2. Wah buku baru langsung di resensi. Apakah ini pertama kalinya bang Tere Liye kolaborasi ya? Jadi penasaran nih karena ulasan yang disampaikan sangat gamblang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Kak Annisa,
      Setahu saya ini sudah ketiga kalinya Bang Tere berkolaborasi dengan co-author, Kak. Pertama di novel "Pergi", lalu novel "Si Anak Cahaya" dan yang ketiga di novel ini, Si Anak Badai. Sok atuh Kak, diadopasi satu di toko buku. Hehe

      Delete
  3. Baca ini jadi pertimbangan buat baca bukunya, aku selalu suka cara Tere liye nulis cerita meskipun kolaborasi saya yakin Tere liye akan tetap berhati2.
    Yang saya setuju dari resensi ini selalu sarat makna di setiap karya Tereliye.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, saya juga sependapat sama Mbak. Kabarnya memang Bang Tere Liye berlaku tegas meski berkolaborasi dengan abangya sendiri. Wah, terima kasih ya Mbak.

      Delete
  4. menarik sekali penjelasanya , jadi ada niat untuk baca full novelnya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mampir ya. Bisa atuh langsung baca novelnya :)

      Delete
  5. Makin apik saja Hanieq dalam merangkai tulisan. Pilihan kata yang disajikan sangat menarik. Semoga jika ada kesempatan bisa membaca novel karya penulis hebat ini. Dan satu hal yang paling penting adalah tetap menjaga "rahasia" cerita dari isi novel itu sendiri. Sukses selalu Hanieq dalam tulisan-tulisan selanjutnya. Ganbatte!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Kak Arif. Siap Kak, kalau lagi senggang bisa dinikmati novel ini. Aamiin, aamiin, sukses juga buat apapun yang sedang dijalani Kak Arif saat ini.

      Delete
  6. Hai, Kak Haniq...
    Waaah ... Makin keren aja, nih tulisannya. Meskipun ini resensi novel. Resensi yang keren dengan penjelasan yang membuat aku jadi penasaran sama novelnya.
    Terus semangat dan selamat menebar kebaikan lewat aksara, ya, Kak... πŸ˜ŠπŸ˜‡

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi juga Kak,
      Makasih banyak Kak ChikaπŸ™ Alhamdulillah kalau seperti itu. Hehe. Siap Kak, tetap semangat berkarya buat Kak Chika juga 😊

      Delete
  7. Mantap. Jadi pingin baca novelnya. :)

    ReplyDelete
  8. Wah, Jadi pengen baca novelnya. Makasih Kk Hanniq 😘

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sok bisa mampir ke toko buku terdekat Kak, atau pesan via website penerbit. Hehe.

      Sama sama Kak Nia, terima kasih juga ya 😘

      Delete
  9. Masya Allah.. keren tulisannya ka. Bikin yg baca jadi tertarik untuk baca novelnya hehe. Semoga bisa menjadi penulis hebat seperti Bang Tere Liye atau penulis hebat lainnya ya ka suatu saat nanti, aamiin.

    Em, hanya saja saya masih menemukan satu kata yg sedikit typo, yaitu kata "mengagalkan" kurang huruf g ka hehe. But, over all udah okee. Semangat ka :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Kak LianaπŸ™
      Aamiin aamiin ya rabbal'alamiin.

      Wah, koreksi yang mantap Kak. Terima kasih. Sudah saya revisi langsung setelah baca komentar Kakak ini 😊

      Semangat juga buat Kak Liana ya 😊

      Delete
  10. Gaya bahasanya luwes banget. Saya jadi tertarik pengin baca. Tere Liye memang punya ciri khas sendiri ya. Buku Tere yang sangat kusuka adalah Daun yang Jatuh tak pernah membenci Angin. Hmm terkesan banget..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Mbak Wiwid πŸ™

      Iya Mbak, Bang Tere Liye selalu menyelipkan pesan-pesan moral beragam yang dinarasikan dengan elegan.

      Wah, jadi penasaran sama buku yang Mbak sebutkan. Saya belum pernah baca yang judul itu Mbak.

      Delete
  11. Wah, saya tertarik kalau novel berlatar budaya. Suka aja menyelami budaya daerah melalui cerita. Lama juga nggak beli novel nya Tere Liye. Terakhir beli Komet Minor

    ReplyDelete
  12. Sama Mak Ety, menarik ya kalau budaya menjadi latar sebuah novel. Wah, saya malah belum baca yang Komet Minor, Mak. Terima kasih sudah mampirπŸ™

    ReplyDelete

 
Top